|
KOMPAS.com - Imunisasi adalah investasi terbesar bagi
anak di masa depan. Imunisasi adalah hak anak yang tidak bisa
ditunda dan diabaikan sedikitpun. Imunisasi sudah terbukti
manfaat dan efektivitasnya dan teruji keamanannya secara ilmiah
dengan berdasarkan kejadian berbasis bukti.
Tetapi masih banyak saja orangtua dan kelompok orang yang
menyangsikannya. Setiap tahun ada sekitar 2,4 juta anak usia
kurang dari 5 tahun di dunia yang meninggal karena
penyakit-penyakit yang dapat dicegah oleh vaksinasi. Di
Indonesia, sekitar 7 persen anak belum mendapatkan vaksinasi.
Salah satu masalah utama yang menghambat keberhasilan program
imunisasi adalah penyebaran informasi yang tidak benar dan
menyesatkan tentang imunisasi.
Hal itu adalah wajar terjadi karena demikian banyak informasi
yang beredar yang tidak berdasarkan pemikiran dan dasar ilmiah
meski dilakukan oleh seorang dokter. Hambatan lain adalah
munculnya kelompok-kelompok antivaksinasi yang menyebabkan
kampanye hitam dengan membawa faktor agama dan budaya.
Biasanya, kelompok tertentu yang menyebarkan kampanye hitam
imunisasi demi kepentingan pribadi khususnya dalam kepentingan
bisnis terselubung yang mereka lakukan. Sebagian kelompok ini
adalah yang berdiri dibelakang oknum pelaku naturopathy,
food combining, homeopathy atau bisnis terapi herbal.
Inilah 20 Mitos Tidak benar Yang Disebarkan Kampanye Hitam Anti
Imunisasi :
1. Imunisasi tidak aman.
Tidak Benar. Saat ini 194 negara terus melakukan vaksinasi
untuk bayi dan balita. Badan resmi yang meneliti dan
mengawasi vaksin di negara tersebut umumnya terdiri atas
para dokter ahli penyakit infeksi, imunologi, mikrobiologi,
farmakologi, epidemiologi, dan biostatistika. Sampai saat
ini tidak ada negara yang melarang vaksinasi, justru semua
negara berusaha meningkatkan cakupan imunisasi lebih dari
90% .
2. Terdapat "ilmuwan" menyatakan bahwa imunisasi
berbahaya.
Tidak benar imunisasi berbahaya."Ilmuwan" yang sering
dikutip di buku, tabloid, milis ternyata bukan ahli
vaksin, melainkan ahli statistik, psikolog, homeopati,
bakteriologi, sarjana hukum, wartawan. sehingga mereka tidak
mengerti betul tentang vaksin. Sebagian besar mereka bekerja
pada era tahun 1950- 1960, sehingga sumber datanya juga
sangat kuno.
3. "Ilmuwan kuno" yang sering dikutip informasi di
media masa atau media elektronik lainnya adalah ahli
vaksin.
Tidak benar. Mereka semua bukan ahli vaksin. Contoh
: Dr Bernard Greenberg (biostatistika tahun 1950), DR.
Bernard Rimland (Psikolog), Dr. William Hay (kolumnis), Dr.
Richard Moskowitz (homeopatik), dr. Harris Coulter, PhD
(penulis buku homeopatik, kanker), Neil Z. Miller,
(psikolog, jurnalis), WB Clark (awal tahun 1950), Bernice
Eddy (Bakteriologis tahun 1954), Robert F. Kenedy Jr
(sarjana hukum) Dr. WB Clarke (ahli kanker, 1950an), Dr.
Bernard Greenberg (1957-1959), Dr. William Hay, penulis buku
"Immunisation: The Reality behind the Myth"(penggagas food
combioning). Neil Z. Miller sering disebut sebagai peneliti
vaksin internasional ternyata adalah medical research
journalist dan natural health advocate.
4. Dokter Wakefield adalah "ahli vaksin",
membuktikan MMR menyebabkan autisme.
Tidak benar. Wakefield juga bukan ahli vaksin, dia dokter
spesialis bedah. Penelitian Wakefield tahun 1998 hanya
dengan sample 18. Banyak penelitian lain oleh ahli vaksin di
beberapa negara menyimpulkan MMR tidak terbukti
mengakibatkan autis. Setelah diaudit oleh tim ahli
penelitian, terbukti bahwa Wakefield memalsukan data,
sehingga kesimpulannya salah. Hal ini telah diumumkan di
majalah resmi kedokteran Inggris British Medical Journal
Februari 2011.
5. Imunisasi sebabkan autisme.
Tidak benar. Beberapa institusi atau badan dunia di bidang
kesehatan yang independen dan sudah diakui kredibilitasnya
juga melakukan kajian ilmiah dan penelitian tentang tidak
adanya hubungan imunisasi dan autisme.
Dari hasil kajian tersebut, dikeluarkan rekomendasi untuk
tenaga profesional untuk tetap menggunakan imunisasi MMR dan
thimerosal karena tidak terbukti mengakibatkan Autisme. The
All Party Parliamentary Group on Primary Care and Public
Health pada bulan Agustus 2000, menegaskan bahwa MMR aman.
Dengan memperhatikan hubungan yang tidak terbukti antara
beberapa kondisi seperti inflammatory bowel disease
(gangguan pencernaan) dan autisme adalah tidak berdasar. WHO
(World Health Organisation), pada bulan Januari
2001 menyatakan mendukung sepenuhnya penggunaan imunisasi
MMR dengan didasarkan kajian tentang keamanan dan
efikasinya. Beberapa institusi dan organisasi kesehatan
bergengsi di Inggris pada Januari 2001 setelah mengadakan
pertemuan dengan pemerintahan Inggris mengeluarkan
pernyataan bersama yaitu MMR adalah vaksin yang sangat
efektif dengan laporan keamanan yang sangat baik.
The American Academy of Pediatrics (AAP), organisasi profesi
dokter anak di Amerika Serikat pada tanggal 12 - 13 Juni
2000 mengadakan konferensi dengan topik "New Challenges in
Childhood Immunizations" di Oak Brook, Illinois Amerika
Serikat yang dihadiri para orang tua penderita autisme,
pakar imunisasi kesehatan anak dan para peneliti. Pertemuan
tersebut merekomendasikan bahwa tidak terdapat hubungan
antara MMR dan autisme. Menyatakan bahwa pemberian imunisasi
secara terpisah tidak lebih baik dibandingkan MMR, malahan
terjadi keterlambatan imunisasi MMR. Selanjutnya akan
dilakukan penelitian lebih jauh tentang penyebab autisme.
6. Thimerosal dalam kandungan autism sebagai
penyebab autisme.
Tidak benar. Penelitian yang mengungkapkan bahwa thimerosal
tidak mengakibatkan Autis dilakukan oleh berbagai penelitian
di antaranya dilakukan oleh Kreesten M. Madsen dkk dari
berbagai intitusi di Denmark. Mereka mengadakan penelitian
bersama terhadap anak usia 2 hingga 10 tahun sejak tahun
1970 hingga tahun 2000. Mengamati 956 anak sejak tahun 1971
hingga 2.000 anak dengan autis.
Sejak thimerosal digunakan hingga tahun 1990 tidak
didapatkan kenaikkan penderita auitis secara bermakna.
Kemudian sejak tahun 1991 hingga tahun 2000 bersamaan dengan
tidak digunakannya thimerosal pada vaksin ternyata jumlah
penderita autis malah meningkat drastis. Kesimpulan
penelitian tersebut adalah tidak ada hubungan antara
pemberian thimerosal dengan autis.
Demikian juga Stehr-Green P dkk, Department of Epidemiology,
School of Public Health and Community Medicine, University
of Washington, Seattle, WA, bulan Agustus 2003 melaporkan
antara tahun 1980 hingga 1990 membandingkan prevalensi dan
insiden penderita autisme di California, Swedia, dan Denmark
yang mendapatkan ekposur dengan imunisasi thimerosal.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa insiden pemberian
thimerosal pada autisme tidak menunjukkan hubungan yang
bermakna.
Geier DA dalam Jurnal Americans Physicians Surgery
tahun 2003, menungkapkan bahwa thimerosal tidak terbukti
mengakibatkan gangguan neurodevelopment (gangguan
perkembangan karena persarafan) dan penyakit jantung.
Melalui forum National Academic Press tahun 2001, Stratton K
dkk melaporkan tentang keamanan thimerosal pada vaksin dan
tidak berpengaruh terhadap gangguan gangguan
neurodevelopment (gangguan perkembangan karena persarafan).
Sedangkan Hviid A dkk dalam laporan di majalah JAMA 2004
mengungkapkan penelitian terhadap 2.986.654 anak per tahun
didapatkan 440 kasus autis. Dilakukan pengamatan pada
kelompok anak yang menerima thimerosal dan tidak menerima
thimerosal. Ternyata tidak didapatkan perbedaan bermakna.
Disimpulkan bahwa pemberian thimerosal tidak berhubungan
dengan terjadinya autis.
Menurut penelitian Eto, menunjukkan manifestasi klinis autis
sangat berbeda dengan keracunan merkuri. Sedangkan Aschner,
dalam penelitiannya menyimpulkan tidak terdapat peningkatan
kadar merkuri dalam rambut, urin dan darah anak Autis.
Pichichero melakukan penelitian terhadap 40 bayi usia 2-6
bulan yang diberi vaksin yang mengandung thimerosal dan
dibandingkan pada kelompok kontrol tanpa diberi thimerosal.
Setelah itu dilakukan evaluasi kadar thimerosal dalam tinja
dan darah bayi tersebut. Ternyata thimerosal tidak
meningkatkan kadar merkuri dalam darah, karena etilmerkuri
akan cepat dieliminasi dari darah melalui tinja. Selain itu
masih banyak lagi peneliti melaporkan hasil yang sama, yaitu
thimerosal tidak mengakibatkan autisme.
7. Semua vaksin terdapat zat-zat berbahaya yang
dapat merusak otak ?
Tidak benar.Isu itu karena "ilmuwan" tersebut di atas tidak
mengerti isi vaksin, manfaat, dan batas keamanan zat-zat di
dalam vaksin. Contoh: jumlah total etil merkuri yang masuk
ke tubuh bayi melalui vaksin sekitar 2 mcg/kgbb/minggu,
sedangkan batas aman menurut WHO adalah jauh lebih banyak
(159 mcg/kgbb/minggu). Oleh karena itu vaksin mengandung
merkuri dengan dosis yang sangat rendah dan dinyatakan aman
oleh WHO dan badan-badan pengawasan lainnya.
8. Vaksin terbuat dari nanah, dibiakkan di janin
anjing, babi, manusia yang sengaja digugurkan?
Tidak benar.Isu itu bersumber dari "ilmuwan" 50
tahun lalu (tahun 1961-1962). Pengetahuan imunologi,
biomolekuilar vaksin dan tknologi pembuatan vaksin
berkembang sangat pesat. Sekarang tidak ada vaksin yang
terbuat dari nanah atau dibiakkan embrio anjing, babi, atau
manusia. Metode baru dan teknologi paling modern dari
manipulasi biomolekuler telah diyakini teknologi vaksin baru
sekarang memasuki "zaman keemasan." Perbaikan vaksin sangat
mungkin dilakukan di masa depan untuk mendapatkan keamanan
dan efektifitas vaksin lebih hebat lagi
9. Imunisasi tak masuk akal bermanfaat.
Tidak benar. Pendapat yang menyesatkan yang tidak
berdasarkan kajian ilmiah dan penelitian ilmiah dikeluarkan
oleh Dr. William Hay seorang dokter yang bergerak di
bidang food combining, dalam buku "Immunisation: The Reality
behind the Myth""Tak masuk akal memikirkan bahwa Anda
bisa menyuntikkan nanah ke dalam tubuh anak kecil dan dengan
proses tertentu akan meningkatkan kesehatan.
Tubuh punya cara pertahanan tersendiri yang tergantung pada
vitalitas saat itu. Jika dalam kondisi fit, tubuh akan mampu
melawan semua infeksi, dan jika kondisinya sedang menurun,
tidak akan mampu. Dan Anda tidak dapat mengubah kebugaran
tubuh menjadi lebih baik dengan memasukkan racun apapun juga
ke dalamnya." Padahal sampai saat ini 194 negara di seluruh
dunia yakin bahwa imunisasi aman dan bermanfaat mencegah
wabah, sakit berat, cacat, dan kematian pada bayi dan
balita.
Terbukti 194 negara tersebut terus menerus
melaksanakanprogram imunisasi, termasuk negara dengan sosial
ekonomi tinggi dan negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, dengan cakupan umumnya lebih dari 85 %.
Ribuan penelitian tentang efikasi dan manfaat vaksi secara
biomolekular dan secara statistik bermanfaat secara
bermakna.
10. Vaksin mengandung lemak babi ? Tidak benar.
Hanya sebagian kecil dari vaksin yang pernah bersinggungan
dengan tripsin pada proses pengembangan maupun pembuatannya
seperti vaksin polio injeksi (IPV) dan meningitis. Pada
vaksin meningitis, pada proses penyemaian induk bibit vaksin
tertentu 15 20 tahun lalu, ketika panen bibit vaksin
tersebut bersinggungan dengan tripsin pankreas babi untuk
melepaskan induk vaksin dari persemaiannya.
Tetapi kemudian induk bibit vaksin tersebut dicuci dan
dibersihkan total, sehingga pada vaksin yang disuntikkan
tidak mengandung tripsin babi. Atas dasar itu maka Majelis
Ulama Indonesia berpendapat vaksin itu boleh dipakai, selama
belum ada penggantinya. Contohnya vaksin meningokokus
(meningitis) haji diwajibkan oleh Saudi Arabia bagi semua
jemaah haji untuk mencegah radang otak karena meningokokus.
11. Vaksin yang dipakai di Indonesia buatan Amerika ?
Tidak benar. Vaksin yang digunakan oleh program imunisasi di
Indonesia adalah buatan PT Bio Farma Bandung, yang merupakan
BUMN, dengan 98,6% karyawannya adalah Muslim.
Proses penelitian dan pembuatannya mendapat pengawasan ketat
dari ahli-ahli vaksin di BPOM dan WHO. Vaksin-vaksin
tersebut juga diekspor ke 120 negara, termasuk 36 negara
dengan penduduk mayoritas beragama Islam, seperti Iran dan
Mesir. Vaksin yang digunakan oleh program imunisasi di
Indonesia adalah buatan PT Biofarma Bandung. Vaksin-vaksin
tersebut dibeli dan dipakai oleh 120 negara, termasuk 36
negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam
12. Program imunisasi hanya di negara Muslim dan miskin agar
menjadi bangsa yang lemah?
Tidak benar. Imunisasi saat ini dilakukan di 194 negara,
termasuk negara-negara maju dengan status sosial ekonomi
tinggi, dan negara-negara non-Muslim. Kalau imunisasi bisa
melemahkan bangsa, maka mereka juga akan lemah, karena
mereka juga melakukan program imunisasi, bahkan lebih dulu
dengan jenis vaksin lebih banyak. Kenyataanya : bangsa
dengan cakupan imunisasi lebih tinggi justru lebih kuat.
Jadi terbukti bahwa imunisasi justru memperkuat kekebalan
terhadap penyakit infeksi, bukan melemahkan.
13. DiAmerika banyak kematian bayi
akibat vaksin ?
Tidak benar. Isu itu karena penulis tidak faham data
Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) FDA
Amerika tahun 1991-1994, yang mencatat 38.787 laporan
kejadian ikutan pasca imunisasi, oleh penulis angka tersebut
ditafsirkan sebagai angka kematian bayi 1 - 3 bulan. Kalau
memang benar angka kematian begitu tinggi tentu FDA AS akan
heboh dan menghentikan vaksinasi.
Faktanya Amerika tidak pernah meghentikan vaksinasi bahkan
mempertahankan cakupan semua imunisasi di atas 90 %. Angka
tersebut adalah semua keluhan nyeri, gatal, merah, bengkak
di bekas suntikan, demam, pusing, muntah yang memang rutin
harus dicatat kalau ada laporan masuk. Kalau ada 38.787
laporan dari 4,5 juta bayi berarti KIPI hanya 0,9 %.
14. Banyak bayi balita meninggal pada imunisasi
masal campak di Indonesia ?
Tidak benar. Setiap laporan kecurigaan adanya kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI) selalu dikaji oleh
Komnas/Komda KIPI yang terdiri dari pakar-pakar penyakit
infeksi, imunisasi, imunologi. Setelah dianalisis dari
keterangan keluarga, dokter yang merawat di rumah sakit,
hasil pemeriksaan fisik, dan laboratorium, ternyata balita
tersebut meninggal karena radang otak, bukan karena vaksin
campak. Pada bulan itu ada beberapa balita yang tidak
imunisasi campak juga menderita radang otak. Berarti
kematian balita tersebut bukan karena imunisasi campak,
tetapi karena radang otak.
15. Demam, bengkak, merah setelah imunisasi adalah
bukti vaksin berbahaya?
Tidak benar. Demam, merah, bengkak, gatal di bekas suntikan
adalah reaksi wajar setelah vaksin masuk ke dalam tubuh.
Seperti rasa pedas dan berkeringat setelah makan sambal
adalah reaksi normal tubuh kita. Umumnya keluhan tersebut
akan hilang dalam beberapa hari. Boleh diberi obat penurun
panas, dikompres. Bila perlu bisa konsul ke petugas
kesehatan terdekat.
16. Program imunisasi gagal?
Tidak benar.Isu-isu tersebut bersumber dari data yang sangat
kuno (50-150 tahun lalu) hanya dari 1 - 2 negara saja,
sehingga hasilnya sangat berbeda dengan hasil penelitian
terbaru, karena vaksinnya sangat berbeda. Isu vaksin cacar
variola gagal, berdasarkan data yang sangat kuno, di Inggris
tahun 1867 - 1880 dan Jepang tahun 1872-1892.
Fakta terbaru sangat berbeda, bahwa dengan imunisasi cacar
di seluruh dunia sejak tahun 1980 dunia bebas cacar variola.
Isu vaksin difteri gagal, berdasarkan data di Jerman tahun
1939. Fakta sekarang: vaksin difteri dipakai di seluruh
dunia dan mampu menurunkan kasus difteri hingga 95 %. Isu
pertusis gagal hanya dari data di Kansas dan Nova Scottia
tahun 1986. Isu vaksin campak berbahaya hanya berdasar
penelitian 1989-1991 pada anak miskin berkulit hitam di
Meksiko, Haiti dan Afrika.
17. Program imunisasi gagal, karena
setelah diimunisasi bayi balita masih bisa tertular penyakit
tersebut ? Tidak benar.
Program imunisasi di seluruh dunia tidak pernah gagal.
Perlindungan vaksin memang tidak 100%. Bayi dan balita yang
telah diimunisasi masih bisa tertular penyakit, tetapi jauh
lebih ringan dan tidak berbahaya. Banyak penelitian
imunologi dan epidemiologi di berbagai membuktikan bahwa
bayi balita yang tidak diimunisasi lengkap tidak mempunyai
kekebalan spesifik terhadap penyakit-penyakit berbahaya.
Mereka mudah tertular penyakit tersebut, akan menderita
sakit berat, menularkan ke anak-anak lain, menyebar luas,
terjadi wabah, menyebabkan banyak kematian dan cacat.
18. Vaksin berbahaya, tidak effektif, tidak
dilakukan di negara maju ?
Tidak benar. Karena di Indonesia ada orang-orang yang tidak
mengerti tentang vaksin dan imunisasi, hanya mengutip dari
"ilmuwan" tahun 1950 -1960 yang ternyata bukan ahli vaksin,
atau berdasar data-data 30 - 40 tahun lalu (1970 - 1980an)
atau hanya dari 1 sumber yang tidak kuat. Atau dia mengutip
Wakefield spesialis bedah, bukan ahli vaksin, yang
penelitiannya dibantah oleh banyak tim peneliti lain, dan
oleh majalah resmi kedokteran Inggris British Medical
Journal Februari 2011 penelitian Wakefield dinyatakan
salah atau bohong.
Ia hanya berdasar kepada 1 - 2 laporan kasus yang tidak
diteliti lebih lanjut secara ilmiah, hanya berdasar logika
biasa. Badan penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa
dengan meningkatkan cakupan imunisasi, maka penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi berkurang secara bermakna.
Oleh karena itu, saat ini program imunisasi dilakukan terus
menerus di 194 negara, termasuk negara dengan sosial ekonomi
tinggi dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
19. ASI, gizi, dan suplemen herbal sudah cukup
menggantikan imunisasi .
Tidak ada satupun badan penelitian di dunia yang
menyatakan bisa, karena kekebalan yang dibentuk
sangatlah berbeda. ASI, gizi, suplemen herbal, kebersihan,
hanya memperkuat pertahanan tubuh secara umum, karena tidak
membentuk kekebalan spesifik terhadap kuman tertentu. Kalau
jumlah kuman banyak dan ganas, perlindungan umum tidak mampu
melindungi bayi, sehingga masih bisa sakit berat, cacat atau
bahkan mati.
Imunisasi merangsang pembentukan antibodi dan kekebalan
seluler yang spesifik terhadap kuman-kuman atau racun kuman
tertentu, sehingga bekerja lebih cepat, efektif, dan efisien
untuk mencegah penularan penyakit yang berbahaya. Selain
diberi imunisasi, bayi harus diberi ASI eksklusif, makanan
pendamping ASI dengan gizi lengkap dan seimbang, kebersihan
badan, makanan, minuman, pakaian, mainan, dan lingkungan.
Suplemen diberikan sesuai kebutuhan individual yang
bervariasi. Selain itu bayi harus diberikan kasih sayang dan
stimulasi bermain untuk mengembangkan kecerdasan,
kreatifitas dan perilaku yang baik.
20. Imunisasi dan Konspirasi Zionisme di dalamnya.
Tidak benar. Jika dirunut sejarah vaksin modern
yang dilakukan oleh Flexner Brothers, dapat ditemukan bahwa
kegiatan mereka dalam penelitian tentang vaksinasi pada
manusia didanai oleh Keluarga Rockefeller. Di dunia
internasional banyak yayasan sosial yang mendanai penelitian
ilmiah tentang vaksin dan masalah kesehatan masyarakat
lainnya.
Memang Rockefeller sendiri adalah salah satu keluarga Yahudi
yang paling berpengaruh di dunia tetapi sebenarnya mereka
adalah pendiri WHO dan lembaga strategis lainnya (The UN's
WHO was established by the Rockefeller family's foundation
in 1948 - the year after the same Rockefeller cohort
established the CIA. Two years later the Rockefeller
Foundation established the U.S. Government's National
Science Foundation, the National Institute of Health (NIH),
and earlier, the nation's Public Health Service (PHS).
Yayasan Rockefeller yang berdiri sejak tahun 1913 dan
kredibilitasnya telah diakui dunia kesehatan Internasional
yang berupaya meningkatkan kesehatan global dengan bekerja
untuk mengubah sistem kesehatan sehingga lebih mudah diakses
dan terjangkau masyarakat tidak mampu.
Yayasan kesehatan dunia ini juga menghubungkan jaringan
surveilans penyakit global untuk membantu mereka yang
berjuang meminimalkan penyebaran penyakit menular yang dapat
menyebabkan pandemi. Yayasan ini juga meningkatkan
monitoring, deteksi dan respon terhadap penyakit menular
seperti Ebola, SARS, dan flu burung untuk mencegah pandemi.
Memperluas penggunaan teknologi untuk meningkatkan perawatan
kesehatan. Melibatkan sektor swasta untuk bekerja dengan
sektor publik dalam mengembangkan praktik dan kebijakan
untuk menyediakan dan mendanai pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin.
Sikap orang tua dalam menghadapi kampanye hitam
* Bila mendengar dan mengetahui kontroversi tersebut, maka
pasti akan membingungkan masyarakat awam. Hal ini terjadi
karena yang memberikan informasi yang tidak benar tersebut
adalah para ahli kedokteran tetapi yang tidak berkompeten
sesuai keahliannya. Untuk menyikapinya kita harus cermat dan
teliti dan berpikiran lebih jernih. Kalau mengamati beberapa
penelitian yang mendukung adanya berbagai kejadian
berhubungan dengan imunisasi, mungkin benar sebagai pemicu
atau sebagai co-accident atau kebetulan.
* Penelitian yang menunjukkan hubungan keterkaitan imunisasi
dan berbagai hal yang tidak benar hanya dilihat dalam satu
kelompok kecil (populasi). Secara statistik hal ini hanya
menunjukkan hubungan, tidak menunjukkan sebab akibat. Kita
juga tidak boleh langsung terpengaruh pada laporan satu atau
beberapa kasus, misalnya bila orang tua anak autism
berpendapat bahwa anaknya timbul gejala autism setelah
imunisasi. Kesimpulan tersebut tidak bisa digeneralisasikan
terhadap anak sehat secara umum (populasi lebih luas). Kalau
itu terjadi bisa saja kita juga terpengaruh oleh beberapa
makanan yang harus dihindari oleh penderita autism juga juga
akan dihindari oleh anak sehat lainnya. Jadi logika tersebut
harus dicermati dan dimengerti.
* Menanggapi tantangan tersebut, Prof Sri Rezeki Hadinegoro,
Ketua Pelaksana Konferensi Vaksin Se-Asia 3 mengatakan,
pemerintah bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
melakukan pendekatan kepada ulama dan masyarakat untuk
memberikan pemahaman yang benar. "Kami tidak melawan
pemahaman kelompok antivaksin, tetapi jangan memutarbalikkan
fakta pada masyarakat," kata Sri dalam acara jumpa pers
pelaksanaan Konferensi Vaksinasi Asia Ke-3 di Jakarta, Kamis
(28/7/2011).
* Ketua Bidang Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama
menambahkan, masyarakat seharusnya tidak perlu
mengkhawatirkan keamanan dan kehalalan vaksin yang beredar.
"Pemerintah menjamin semua vaksin yang beredar sesuai
kaidah-kaidah yang berlaku. Pada kasus kontroversi vaksin
meningitis untuk jemaah haji, kami mengikuti saran MUI,"
katanya.
* Persoalan black campaign dari vaksin ternyata
juga ditemui di negara-negara lain, misalnya di Filipina.
Menurut Enrique Tayag, President of Philliphine Foundation
for Vaccination, kelompok antivaksin juga menjadi tantangan.
"Bagaimanapun masyarakat harus diingatkan manfaat vaksin
untuk kesehatan anak jauh lebih besar daripada efek samping
yang ditakutkan," katanya dalam kesempatan yang sama.
Hambatan lain adalah munculnya kelompok-kelompok
antivaksinasi yang menyebabkan kampanye hitam dengan membawa
faktor agama dan budaya. Biasanya kelompok tertentu yang
menyebarkan kampanye hitam imunisasi demi kepentingan
pribadi khususnya dalam kepentingan bisnis terselubung yang
mereka lakukan. Sebagian kelompok ini adalah yang dilakukan
oleh oknum pelaku naturopathy, homeopathy, food
combining, atau bisnis terapi herbal. Sebagian dari
kelompok ini juga dilakukan oleh dokter bahkan beberapa
profesor. Tetapi semuanya bukan berasal dari ahli medis,
dokter atau profesior yang berkompeten di bidangnya seperti
ahli kesehatan anak, ahli vaksin, ahli imunologi. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa banyak juga dokter atau profesor
yang bergerak di bidang bisnis terapi alternatif atau non
medis. Meski sebenarnya ilmu dan aliran terapi alternatif
tersebut pada umumnya sangat baik, tetapi sayangnya sebagian
kecil di antara mereka demi keberhasilan bisnis mereka
mengorbankan kepentingan anak di dunia dengan menyebarkan
informasi tidak benar dan menyesatkan.
supported by :
CHILDREN GRoW UP CLINIC Yudhasmara Foundation Inspirasi
Orangtua Cerdas, Tumbuhkan Anak Semakin Sehat, Kuat dan
Pintar http://childrengrowup.wordpress.com
|